Anak_terbang

Anak_terbang itu nama yg akan menunjukkan bahwa sebagai manusia saya selalu terbang dalam pikiran (baca: berkelana) dan terbang jg berarti bahwa saya bebas merdeka dari golongan atau pun organisasi apa pun...Ini semua selalu tentang kekebasan semata tak ada ada yg lain

Minggu, 10 Januari 2010

Aku dan ketakutan ku

Buat manusia serupa aku ini, tak ada lagi yang namanya takut akan ketakutan. Semua tak benar menakutkan sungguhnya, yang ada hanya pendramatisir akan ketakutan yang kadang teramat hiperbola berlebihan. Padahal apa lagi yang mesti ditakuti teramat sangat? Bahwa hidup lalu tak jadi makin baik atau buruk, tetap seperti ini sejak awal sampai pada penghabisannya. Hujan masih terus turun seturut musimnya, walau sekarang agak terlalu dini memang. Kemarau pun sama, masih setia mengganti hujan saat bumi sudah teramat basah becek oleh lumpur sisa endapan banjir. Bumi masih terus berputar walau juga telah semakin uzur. Bahwa bila kematian datang jelang setiap orang lepas orang, itu pun lebih karena mati memang tak terhindarkan, semata karena mati pasangan sejoli belahan jiwa dari hidup. Hingga lalu hanya kematian yang dapat menegaskan kehidupan, pula sebaliknya. Pun cara kematian yang tragis yang terhormat yang dikutuk nista sumpah serapah, tak lalu bisa ubah semuanya. Kematian hanya akan jadi kematian, cara kematian menjemput memotong putus garis napas seorang manusia, tak ubahnya aneka macam topeng dari sebuah pementasan tari topeng belaka. Bahwa lalu segala pretensi perkiraan ramalan membaca tanda akan kematian seorang manusia adalah kesiaan ompong kosong tanpa bunyi sungguhnya. Mati adalah mati, tanpa peduli seperti apa ragam caranya. Tetap saja mati. Jadi kenapa takut akan ketakutan mesti jadi munafik pula dramatisir yang hiperbola? Hidup adalah sekumpulan kematian demi kematian, bahwa oleh itulah berharga pula harga dapat ditaksir juga ditakar di atas timbangan yang adil tanpa curang berat sebelah pincang. Jadi hiduplah semata karena mati menunggu kita di garis akhir dari ini semua. Beri arti sedalam seluas setinggi yang dapat manusia beri, biar tak benar jadi kesiaan akan hidup pula mati. Tak ada yang perlu manusia seperti aku ini takuti. Tak ada, bahkan demi mati sekali pun.

Yoja, 17 Des’07
12:30 am
Mira mati, Bryan mati.
Pa2+Ma2 makin tua, petak kubur mereka telah disediakan.
Aku takut akan hujan petir angin puting beliung.
Aku takut akan wajah pula topeng kematian lalu mencoba
merenung.

Takdir dan Kupu-Kupu

Apa itu takdir yang menenun manusia dari lahir sampai mati, dari pagi sampai gelap malam? Serupa kutukan yang menyegel segala langkah juga segala ingin yang manusia miliki. Hingga lalu sebagai manusia hanya seakan bebas merdeka tapi sungguhnya terpasung erat tak bisa bergerak sekehendak semaunya. Memang satu kesialan bahwa pikiran dapat begitu bebas terbang melayang kanan kiri atas bawah juga bersalto akrobat segala gerakan. Tapi realnya raga ini hanya dapat mematung bagai robot tolol tak hidup, sebab sungguhya kehabisan tenaga pula tak lebih dari pajangan penghias juga pemanis semata biar kelihatan dunia ini hidup meriah penuh senda gurau canda. Itulah takdir itu!!!!
Seperti itulah yang terjadi pada kurawa, bahwa mereka kurawa sehingga terlahir sebagai penjahat dan hanya kejahatanlah yang mereka tahu atau serupa pandawa yang terlahir gilang gemilang sebagai pahlawan-pahlawan berjiwa putih bersih serupa putih kafan yang baru saja dicelup direndam dalam segentong Bayclin. Itulah gunanya takdir. Bahwa Yudas yang disebut Iskariot harus juga wajib hukumnya menjadi penjual Yesus demi sekantung uang tanpa punya guna lain selain sebagai penghianat. Bahwa esensinya Yudas Iskariot adalah penghianat hingga tak ada ayah yang mau menamai anaknya Yudas semata karena Yudas telah dinajiskan sejak dari permulaan dunia. Hingga sampailah pada peneguhan bahwa manusia benar tak ubahnya boneka-boneka tolol yang kaku bisu tuli tak berotak pula tak bernurani. Nyatalah sekarang dengan gamblang telanjang bugil segala jurang dalam juga gunung tinggi yang jadi pemisah manusia dari oknum yang sunyi senyap yang dipanggil Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widhi, Dewa-Dewi atau apalah namanya. Bahwa kita teramat jauh berbeda dari Dia. Bahwa sungguhnya kita bukan apa-apa buat dia hanya mainan pengisi waktu senggangnya. Dunia ini tak ubahnya panggung besar tempat pementasan drama yan teramat munafik memuakkan yang lalu setiap pemainnya diseret sana sini, dipaksa tertawa juga tersedu. Tempat dimana segala ekspresi juga emosi dicurahkan tumpah meluber bagai muntahan segerombolan anak TK yang baru saja menenggak tandas berbotol-botol Black Label. Perut dikocok, mata dicolok, hidung ditonjok, sekujur tubuh dipecut biar maksimal emosi dan aktingnya, hingga lalu si Oknum itu akan mengangguk-anggukkan kepala botaknya sambil berteriak “cut” lalu menepuk-nepuk bahu pemainya sambil berujar “ brilliant, kamu menjiwai sekali”.
Sekonyong yang ada hanyalah lelah juga penat yang amat sangat. Pernahkah itu merasuk lalu seakan cengkeramannya ingin meremukkan jiwa ringkih mu? Pernahkah kau begitu lelah dengan hidup dengan takdir lalu akhirnya dengan si Oknum itu ? Pernahkah kau begitu tergoda untuk mati ? Semata karena hidup mu tak bisa menjanjikan sesuatu yang kau ingin pula harap dengan segenap hati juga jiwa mu. Pernahkah kau merasa begitu benci yang amat hitam ? Hingga lalu benci itu hanya akan dapat dipupus dengan membunuh si Oknum itu lalu memutilasinya dan bila belum teramat mual akan anyir darah mungkin dapat juga memakan jantung-Nya. Tapi mungkin saja itu tak kalian rasakan semata karena kalian adalah orang-orang beraliran seputih kain kafan jadi tak mungkinlah kalian pernah berpikiran seperti di atas itu. Dengan patuh pasrah kalian akan mengurut dada menahan pilu tanpa marah semata karena marah pada sang Oknum itu dosa. Berjam-jam kalian akan berbicara pada Dia dalam doa pula mantra yang panjang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan lalu percaya bahwa keinginan juga keluh kesah kalian telah didengar dan akan terkabul. Seperti ada tertulis “berbahagialah yang tak melihat tapi percaya.”
Memang sungguh aneh hidup manusia. Aku dan kalian sama saja manusianya tapi entah kenapa seakan takdir menumbuhkan sayap kupu-kupu di pundak ku, sayap yang ringkih memang tapi toh dapat juga kupakai terbang melayang mencicipi kebebasan terbang serupa kupu-kupu. Walau memang terbang yang hanya sekejap mata, tapi kupikir karena sekejap itulah lalu jadi berarti berlipat-lipat. Aku manusia yang lalu mati sebagai kupu-kupu.

Yoja, 27 September 08
03:16 AM
Tjarles
Aku hanya ingin melawan takdir

Sabtu, 05 Desember 2009

Dunia dan "dunia"




Adakah disana semua yang tak pernah kuimpikan pula kupikirkan? Semua yang tak pernah dapat dicapai pendek nalar ini. Tentang hidup tentang mati, pula rasa yang tak pernah ada sesal. Semua yang berpusar diantara gelora akan rasa, yang tak dapat jinak oleh dogma dosa. Yang tak bisa dipenjara oleh ahlak lurus yang putih. Yang tak pernah hitam pula putih. Semua hanya tentang abu-abu. Yang buat hidup hanya tentang hidup, bukan lagi saling jadi hakim. Hingga terpecah jadi blok baik pula jahat. Tempat yang dimana kita akan saling liat hormat sebagai sama manusia, sebagai sama kotor sama bersih. Itu mungkin terlalu tinggi, hingga hanya bisa jadi utopia semu. Dimana tuhan hanya dipandang sebagai tuhan, bukan satu mistis yang misteri pula penuh takut. Lalu agama tak lagi ada, hingga tak lagi ada beda yang tajam menikam nurani, mengugat segala beda prinsip kita. Hingga tak lagi butuh kita akan polisi tentara, bahkan pemerintahan sekali pun. Sebab damai adalah benar salam kita kepada diri sendiri, bukan hanya kata kosong isapan jempol bayi, yang baru lepas dari tetek ibunya. Disana kita tak akan memadat damai, sebab dia ada benar dihati mulut kita. Hingga tak perlu berpeluh demi koar akan kebajikan damai. Dimana kita meresapinya, serupa hujan yang tenggelam dalam gersang tanah pecah kerontang. Adakah disana? Semua yang tak pernah kuimpikan karena aku telah takut mimpi, yang tak pernah kupikir karena pikiran meneror tanpa henti. Dunia semakin tua tapi juga semakin kanak-kanak, kita yang tak dapat henti berpusar, dalam segala yang pecah terburai pula genangan darah ceceran daging. Dimana pembantaian perang jadi harga mati tak dapat ditawar lagi. Jelma lalu jadi solusi teramat final demi hidup yang akan lebih baik sabdanya. Hingga api yang membakar habis, bahkan tak dapat padam dicurah air tujuh samudera. Lalu kering meraja jadi pesaing akan kesumat dendam yang panas yang dingin. Aku hanya dapat terus menulis, tanpa tahu kapan akan henti, sebab pusaranku pun menyedot terus teramat deras. Walau lalu aku pun tak jadi tambah baik, sebab memang aku bukan orang baik.

Yoja, 05 April’07
12:15 am